Brimob Polri memiliki fungsi teknis kepolisian sebagai bantuan taktis operasional back up satuan kewilayahan yang paling diandalkan Polri khususnya dalam mengamankan daerah-daerah sarat konflik dan wilayah rawan konflik. Akan tetapi dalam mengemban tugas-tugas kepolisian, Brimob masih cenderung mengedepankan kultur militeristik dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sebagai bagian integral dari kepolisian negara Republik Indonesia, Brimob harus mulai menata diri dan melakukan perbaikan kedalam dengan menciptakan citra untuk benar-benar menjadi pelindung, pelayan dan pengayonv masyarakat serta aparat penegak hukum. Polmas adalah metode Perpolisian Masyarakat yang diadaptasi dari metode serupa di Jepang. Dengan sedikit modifikasi metode ini berusaha diterapkan di Indonesia. Metode ini mengutamakan pada kesetaraan hubungan antara Polisi dan masyarakat. Keberadaan metode Polmas diharap menjadi langkah awal yang positif bagi Brimob guna merubah citra buruk yang telah lama melekat. Dengan metode Perpolisian yang melibatkan partisipasi masyarakat, secara umum akan menyebabkan berubahnya paradigma masyarakat tentang personil Brimob. Dengan metode ini, masyarakat akan lebih banyak berhubungan dengan anggota itu sendiri. Namun secara umum, konsep Perpolisian Masyarakat dalam kenyataannya seringkali berseberangan atau sekurang-kurangnya tidak sesuai dengan realita yang ada. Realita ini terjadi ketika prinsip. Perpolisian tadi berinteraksi dengan masyarakat. Perbedaan kultur, budaya setempat, kondisi geografis, tingkat pendidikan dan budaya kepolisian yang ada di masyarakat membuat prinsip-prinsip tersebut harus mengalami modifikasi dan perubahan, agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang dihadapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Polmas dan faktor--faktor yang mempengaruhi implementasi Polmas oleh Sat Brimobda Jateng di Kelurahan Genuk. Penelitian ini menggunakan wawaneara sebagai teknik pengumpulan data. Sedangkan metode analisis datanya menggunakan analisis deskriptif. Temuan penelitian yang didapat adalah pertama implementasi perpolisian masyarakat dilaksanakan melalui kegiatan sambang desa, penyuluhan, pelatihan-pelatihan, kegiatan olah raga. Kedua, adanya faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan pemolisian masyarakat oleh Sat Brimobda jateng. Faktor pendukung pelaksanaan Polmas bersifat dominan, kualitas personil merupakan pendukung yang utama selain dukungan masyarakat. Sedangkan masalah anggaran, sarana, dan kuantitas personil menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan Polmas oleh Sat Brimobda Jateng di kelurahan Genuk. Dalam pembahasan penulis menggunakan konsep community policing, teori management dan teori kerjasama. Konsep pemolisian masayarakat di Sat Brimobda Jateng telah berhasil dilaksanakan walaupun belum maksimal. Penulis menyarankan untuk lebih ditingkatkannya perhatian terhadap pelaksanaan Polmas dan memperhatikan keterbatasan gerak personil anggota Sat Brimob Polda Jateng dalam pelaksanakan Polmas karena tugas pokok Brimob sebagai bantuan taktis.