Sumber daya alam berupa bahan galian pasir yang berada di wilayah Kecamatan Cangkringan berasal dari gunung Merapi dan tertimbun di sepanjang sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Pasir tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Cangkringan sebagai salah satu sumber ekonomi mereka. Kegiatan penambangan yang semula diusahakan dengan peralatan yang sangat sederhana berkembang menjadi skala menengah dengan menggunakan peralatan mekanik seperti eksavator (backhoe). Dalam perkembangan selanjutnya, penambangan pasir oleh masyarakat dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan kondisi lingkungan sungai dan mengakibatkan dampak yang cukup besar sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan yang ada di sekitarnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriftif. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa wawancara, observasi dan studi dokumen. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa deskriptif. Sedangkan pelaksanaan penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Polres Sleman pada bulan Maret hingga April 2007.
Temuan penelitian, pertama, latar belakang atau motif praktik pertambangan pasir ilegal: motif ekonomi, sulitnya membuat izin karena prosedur yang berbelit, kekayaan alam yang tersedia letaknya dekat dan mudah diperoleh. Modus operandi: (1) penambangan pasir dengan dalih normalisasi, (2) pertambangan pasir rakyat tanpa ijin menggunakan alat tradisional seperti sekop, pacul, linggis dan lain-lain, dilakukan dengan cara manual. Penegakan hukum yang dilakukan adalah tindakan represif dilakukan dengan penyelidikan dan penyidikan, kemudian berkoordinasi dengan instansi terkait, diantaranya Bapedalda dalam upaya penyelidikan, kordinasi dengan saksi ahli Dinas Pertambangan pada seat pemeriksaan saksi pada proses penyidikan dan kemudian bekerjasama dengan Kejaksaan untuk memeriksa kelengkapan berkas perkara sebelum tersangka tiriak pidana diserahkan ke pengadilan untuk menjalani proses peradilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pertambangan pasir tanpa izin di Kecamatan Cangkringan yaitu: (1) Faktor hukumnya sendiri. Dalam kaidah hukum, selalu dibatasi oleh undang-undang. Dalam kasus Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. (2) Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. (3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. (4) Faktor masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. (5) Faktor kebudayaan.
Kesimpulan, meski prosedur penyidikan Sat Reskrim Polres Sleman sudah besar, Akan tetapi penyidikan masih belum efektif karena masih ada kasus yang tertunda selama lebih dari tiga tahun (kasus Agralno) yang disebabkan tidak adanya hasil lab seperti yang diharapkan oleh jaksa penuntut umum. Penyebab lainya adalah lemahnya kordinasi antar instansi terkait. Saran, penegakan hukum harus terus dilakukan dan diharapkan tidak berhenti begitu saja atau mundur dalam proses penegakan hukum hanya karena alasan non teknis. Artinya institusi sebagai penegak hukum tidak boleh mundur dalam upaya penegakan hukum karena berhadapan dengan masyarakat didalam usaha pemenuhan kebutuhannya.